Ketua Umum Aliansi Perdagangan dan Industri Kreatif Indonesia (APIKI), Anto Suroto, SH, SE, MM. (Dok/Foto/Red)
Oleh: AYS Prayogie
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aroma kopi instan dan onigiri dari gerai Family Mart di kompleks Kementerian Usaha Kecil Menengah (UKM), Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, menyambut pegawai dan tamu yang berkunjung ke gerai itu. Tapi kehadiran ritel modern asal Jepang tersebut bukan cuma menyuguhkan camilan cepat saji—ia juga menyulut polemik!
HITVBERITA.COM | Jakarta — Aliansi Perdagangan dan Industri Kreatif Indonesia (APIKI) menyebut kehadiran Family Mart di lingkungan Kementerian UKM sebagai ironi. Lembaga yang seharusnya menjadi panggung utama bagi pelaku usaha kecil, justru tetap membuka ruang bagi ritel berjaringan global.
“Secara administratif sah, tapi secara etis ini mencederai semangat pemberdayaan UMKM,” kata Ketua Umum APIKI, Anto Suroto, dalam pernyataan resminya, pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Terkait itu APIKI akan melayangkan surat keberatan kepada Kementerian UKM. Intinya: minta evaluasi. Mereka juga menyoal skema pemanfaatan lahan komersial di kementerian yang dinilai telah mengabaikan prinsip afirmasi terhadap koperasi dan UMKM.
Ditegaskan oleh Ketua Umum APIKI, Anto Suroto, SH, SE, MM bahwa kehadiran Family Mart di lingkungan Kementerian UKM menjadi potret inkonsistensi arah kebijakan.
“Ruang kementerian itu seharusnya jadi etalase produk UMKM unggulan, bukan lahan bisnis investor asing,” ujar Anto, yang juga Dewan Pembina MIO INDONESIA, yakni sebuah organisasi pers tempat berhimpunnya perusahaan perusahaan media berbasis online di Indonesia.
Telusuran Hitvberita.com dilapangan, bahwa pemerintah selama ini memang membuka peluang kerja sama pemanfaatan aset negara dengan pihak swasta, termasuk investor asing.
Dalam praktiknya, aspek teknis seperti layanan 24 jam, sistem distribusi, dan besar sewa jadi pertimbangan utama. Di titik itu, ritel besar seperti Family Mart unggul telak dibanding warung kopi keliling atau gerai keripik lokal.
Namun menurut APIKI, pendekatan berbasis efisiensi semata tak bisa menjadi justifikasi. “Kalau kementerian yang membidangi UMKM saja tak memberi ruang, bagaimana pelaku usaha kecil bisa naik kelas?” ucap Anto.
APIKI mendorong kementerian untuk membuka proses evaluasi secara terbuka dan melibatkan pelaku UMKM. Bagi mereka, keberpihakan pada ekonomi kerakyatan tak cukup hanya dalam dokumen rencana strategis, tapi harus tercermin dalam setiap jengkal ruang yang dikelola.
“Kementerian ini bukan sekadar tempat penyewa properti. Ia penentu arah,” uejar Anto. “Mestinya bisa jadi teladan dalam menempatkan UMKM sebagai tuan rumah di negerinya sendiri.” sambungnya.
Hingga berita ini disusun, pihak Kementerian UKM belum memberikan tanggapan atas pernyataan resmi dari APIKI.
Namun polemik ini kembali menyodorkan satu pertanyaan penting: di tengah gempuran ritel modern dan liberalisasi aset negara, apakah UMKM masih punya tempat di rumah sendiri?
Sumber:
Humas MIO INDONESIA
Penulis : AYS Prayogie