Opini  

Perjanjian Pembagian “Kewenangan Bupati” Antara Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Sebagai Bentuk Penyelundupan Hukum!

https://hitvberita.com/wp-content/uploads/2024/07/IMG-20240715-WA0452-1.jpg

JABATAN Wakil Kepala Daerah termasuk Jabatan Wakil Bupati merupakan jabatan inkonstitusional karena faktanya memang tidak di sebutkan secara eksplisit dalam UUD NRI 1945. Oleh karenanya Wakil Bupati tidak memiliki kewenangan yang bersumber dari Atribusi dan Delegasi.

Wakil Bupati hanya mungkin memiliki kewenangan yang bersumber dari “Mandat” yang diberikan oleh Bupati berdasarkan Naskah Dinas.

Mandat Bupati kepada Wakil Bupati identik dengan penugasan seorang Bupati kepada seorang Wakil Bupati yang berada dalam ruang lingkup Hukum Administrasi.

Kewenangan merupakan Konsep Hukum Administrasi yang didefinisikan sebagai Kekuasaan menggunakan sumber daya untuk mencapai tujuan pemerintahan.
Dan sumber dari Kewenangan yang di miliki oleh organ pemerintah tersebut di dapat melalui tiga sumber.

Yakni, pertama adalah “ATRIBUSI” yaitu pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.

Kedua “DELEGASI” yakni pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

Dan yang ketiga adalah “MANDAT” yang dalam hal ini terjadi karena adanya sebuah situasional, yakni ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalani oleh organ lain atas namanya.

Oleh karena itu Bupati melalui Naskah Dinas bisa saja membagi kewenangannya kepada Wakil Bupati dengan menerbitkan Mandat.

Namun, Mandat tersebut diberikan oleh Bupati kepada Wakil Bupati karena oleh adanya situasi dan kondisi yang mengharuskan untuk itu, sehingga Mandat bersifat insidentil dan berproses dalam ruang lingkup Hukum Administrasi.

Dengan demikian Mandat tidak bisa diberikan oleh calon Bupati kepada calon Wakil Bupati, karena calon Bupati belum memiliki “Kewenangan Bupati” dan calon Wakil Bupati belum menyandang jabatan Wakil Bupati yang memilki kapasitas menerima Mandat Bupati.

Dengan kata lain calon Bupati baru bisa memberikan “Kewenangan Bupati” dalam bentuk Mandat kepada calon Wakil Bupati jika calon Bupati dan calon Wakil Bupati telah definitif menjadi Bupati dan menjadi Wakil Bupati terpilih.

Dengan demikian perjanjian pembagian “Kewenangan Bupati” antara calon Bupati dan calon Wakil Bupati tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Perikatan keperdataan dalam bentuk perjanjian pembagian “Kewenangan Bupati” antara seorang calon Bupati dengan seorang calon Wakil Bupati sebelum yang bersangkutan menjabat Bupati dan menjabat Wakil Bupati definitif, dapat dikualifikasikan sebagai bentuk penyelundupan hukum.

Sebab “Kewenangan Bupati” tidak bisa dijadikan objek perjanjian antara seorang calon Bupati dengan seorang calon Wakil Bupati. Artinya objek perjanjian berupa “Kewenangan Bupati” tersebut masih belum dimiliki oleh calon Bupati.

Selanjutnya merujuk pada syaratnya sah perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata maka, perjanjian pembagian “Kewenangan Bupati” antara calon Bupati dan calon Wakil Bupati tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian.

Perjanjian pembagian “Kewenangan Bupati” antara calon Bupati dan calon Wakil Bupati merupakan perbuatan hukum keperdataan dan kewenangan merupakan salah satu instrumen Hukum Administrasi yang diatur dalam ruang lingkup Hukum Administrasi. Dimana, Hukum Perdata bersifat personal dan Hukum Administrasi bersifat publik.

Konsekuensi hukum atas Perbedaan sifat dari kedua lapangan hukum ini, menjadikan Hukum Perdata tidak dapat melakukan “intervensi” terhadap Hukum Administrasi.

Perjanjian pembagian “Kewenangan Bupati” antara calon Bupati dan calon Wakil Bupati merupakan salah satu bentuk “intervensi” Hukum Perdata yang bersifat personal kepada Hukum Administrasi yang bersifat publik.

Oleh sebab itu persoalan-persoalan yang bersifat personal yang menyangkut kepentingan politik calon Bupati dan calon Wakil Bupati tidak boleh masuk dalam persoalan publik, karena berpotensi dapat menggusur terhadap kepentingan umum.

Dengan demikian perjanjian pembagian “Kewenangan Bupati” antara calon Bupati dengan calon Wakil Bupati merupakan perjanjian yang bertentangan dengan kepatutan.

Produk hukum Pemerintah Daerah Kabupaten berupa “Keputusan Bupati dan Peraturan Bupati ” merupakan realisasi dari suatu kewenangan Bupati dan kewenangan untuk membuat produk hukum berupa “Keputusan Bupati dan Peraturan Bupati” tidak bisa dibagi oleh calon Bupati kepada calon Wakil Bupati sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai Bupati Definitif

Dan jika hal ini dilakukan akan berakibat patal bagi kemaslahatan masyarakat banyak, karena “Keputusan Bupati dan Peraturan Bupati” yang dibuat dan ditandatangani oleh Wakil Bupati berdasarkan perjanjian pembagian “Kewenangan Bupati” bisa batal demi hukum atau bisa dibatalkan melalui suatu proses hukum.

Sehingga dengan adanya perjanjian pembagian “Kewenangan Bupati” antara calon Bupati dan calon Wakil Bupati telah memperlihatkan ketidakmampuan yang bersangkutan dalam menggunakan instrumen Hukum Administrasi untuk menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan benar. (**)

Penulis Adalah Seorang Praktisi Hukum, Tinggal di Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Babel
Facebook Comments Box
Penulis: Bambang Yuganto, SH, MH, M.AP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *