Oleh: AYS Prayogie
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah bentangan lahan subur yang membelah Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, warisan atas nama almarhum Anang Abdullah kini menyisakan jejak panjang sengketa hukum yang tak kunjung menemukan ujung. Lebih dari sekadar konflik agraria, kasus ini mencerminkan bagaimana sistem hukum dan tata kelola pertanahan masih menyisakan celah, bahkan bagi hak milik yang telah dinyatakan sah oleh pengadilan.
Pada Selasa (10/6/2025), di ruang pemeriksaan Unit Pidana Umum Polres Kotawaringin Barat, suasana terlihat tenang. Namun di balik itu, ketegangan batin menyelimuti para ahli waris yang datang dengan harapan. Helmi, salah satu saksi sekaligus ahli waris, menjalani pemeriksaan. Ia didampingi Hanafi dan Amat Jagam, kuasa ahli waris sekaligus penghubung utama dengan aparat penegak hukum.
“Kami datang membawa harapan, tapi tak kunjung melihat titik terang,” ujar Amat seusai pemeriksaan kepada Hitvberita.com.
Sudah hampir tiga bulan sejak laporan resmi dilayangkan pada 18 Maret 2025 lalu, namun proses penyelidikan kasus dugaan penyerobotan lahan yang dilaporkan tak menunjukkan perkembangan signifikan.
Ironisnya, menurut Amat, putusan pengadilan atas kepemilikan lahan sudah berkekuatan hukum tetap—inkrah. Tapi penyidik belum memeriksa pihak yang diduga mengambil alih lahan tersebut secara melawan hukum.
Di sisi lain, sorotan juga tertuju pada kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotawaringin Barat. Sertifikat Hak Milik Nomor 976 Tahun 2006 atas nama Anang Abdullah yang menjadi dasar klaim ahli waris, kini justru masuk dalam daftar bidang tanah yang disengketakan.
Kejanggalan itu mengemuka ketika penyidik menggali keterangan dari Nurvita, Plt Kepala Seksi Sengketa BPN Kobar. Ia mengungkapkan bahwa empat sertifikat yang kini dipersoalkan belum pernah dilakukan plotting— prosedur teknis yang seharusnya menjadi fondasi sebelum penerbitan sertifikat dilakukan.
“Tanpa plotting, keabsahan sertifikat menjadi rapuh. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi juga potensi pelanggaran hukum,” kata Amat dengan nada prihatin.
Amat Jagam mengaku telah beberapa kali berupaya menemui pejabat berwenang di kantor BPN Kobar untuk meminta klarifikasi. Namun, pintu-pintu itu, menurutnya, belum terbuka.
Tak hanya di sektor pertanahan, komunikasi antara pelapor dan aparat kepolisian juga menjadi sorotan. Hingga berita ini diturunkan, pihak ahli waris mengaku belum pernah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), dokumen berkala yang seharusnya menjadi jembatan informasi antara penyidik dan pelapor. Padahal, menurut peraturan yang berlaku, SP2HP wajib diberikan paling lambat sebulan sekali.
“Ini menyangkut akuntabilitas. Transparansi adalah bagian dari keadilan,” ujar Amat Jagam.
Ia menilai bahwa ketiadaan informasi serta sikap tertutup penyidik bukan hanya melemahkan proses hukum, tetapi juga menambah beban psikologis bagi keluarga yang sedang memperjuangkan hak atas tanah warisan.
Ketika jalur hukum tak segera memberi kepastian, yang tertinggal adalah kekosongan yang membingungkan. Di satu sisi, warisan telah sah secara hukum. Di sisi lain, pelaksanaannya terhambat oleh prosedur dan komunikasi yang tersendat.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari Polres Kotawaringin Barat maupun BPN setempat terkait berbagai kritik yang dilontarkan. Namun bagi Amat dan keluarga ahli waris, perjuangan belum usai. Bahkan merekapun meminta Kapolda Kalimantan Tengah turun tangan
“Bukan soal luas lahannya. Ini tentang hak yang diakui, tapi belum dihormati,” kata Amat, sebelum beranjak dari ruang penyidikan. (*/*)
Penulis adalah Wartawan Senior | Pegiat sosial media | CEO Portal Berita HITV | Ketua Umum Organisasi Pers Media Independen Online Indonesia (MIO INDONESIA)
Sumber:
Humas MIO INDONESIA
Penulis : AYS Prayogie